Kamis, 24 April 2008

TRAFIKING DI KALIMANTAN BARAT



Difinisi Trafiking menurut PBB adalah perekrutan,pemindahan,penampungan,atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan kebohongan atau penyalah gunaan kekuasaan/posisi rentan/memberi/menerima pembayaran/memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang untuk berkuasa atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. di Kalimantan Barat trafiking terjadi akibat Pemerintah tidak berhasil dalam menanggulangi masalah Kemiskinan,Rendahnya tingkat pendidikan dan ketidak adilan gender serta Situasi Pulau Kalimantan Barat sebagai trans Nasional dalam segala aspek, perbatasan darat sepajang 800 km dan hanya satu perlintasan formal yaitu entikong serta kesenjangan ekonomi yang terjadi. Keadaan tersebut menyebabkan banyak Tenaga kerja dari Indonesia yang mencari pekerjaan ke Negara Jiran Malesia, yang tidak memiliki dokumen secara resmi. Negara Malesia lebih suka mencari tenaga kerja dari Indonesia yang ilegal karena upah yang diberikan akan lebih rendah dari tenaga kerja yang datangnya secara resmi memiliki paspor dan VISA. Kal-Bar merupakan Daerah pengirim transit sekaligus tujuan bagi korban-korban trafiking, Menurut Data ICMC dan ACILS mengatakan secara nasional terdapat + 3,7 juta orang korban trafiking,dan menurut Yayasan Rindang Banua menyebut 750.000 korban setiap tahun, serta LSM anak bangsa Entikong melaporkan ada 1.747 korban tahun (2002 - 2004). Proses terjadinya trafiking ini diKalimantan Barat yang pertama Modus pekerjaan rumah tangga, Buruh Bangunan, pekerjaan seks komersial dalam dan luar negeri, Pengantin pesanan dari singkawang. Sebagai daerah pengirim Kalimantan Barat memiliki penduduk multi etnis yang cukup banyak,dan banyak dari anak-anak yang putus sekolah karena tidak memiliki biaya yang memadai karena biaya pendidikan yang cukup tinggi. Karena merasa kecewa maka ia tergoda dengan rayuan para calo yang merayu dengan Cara mendatangkan anak-anak perempuan didesa menawarkan sutu pekerjaan yang menarik dan dijanjikan dengan penghasilan yang cukup besar, calo tersebut biasanya orang kenalan dan bahkan saudara sendiri dari korban, Pembuatan dokumen menggunakan identitas palsu seprti KTP dan Paspor. Setelah itu korban diserahkan kepada agen dari luar negeri(Malesia). Di Kalbar menurut data IOM (Internasional organization of migran) pada bulan April 2005-januari 2006 yang berasal dari Kalbar berjumlah 227 korban. Kabupaten Bengkayang : 22,orang 10 % Kabupaten Landak: 38 orang 16 % , Kabupaten Kapuas Hulu 0 orang ,0 % , Kabupaten Ketapang 1orang : 0)%, Kabupaten Melawi 2 orang : 1%,Kota madiya Pontianak 13 orang : 6% Kabupaten Sambas 25 orang : 11% Kabupaten Pontianak 33 orang: 15%,Kabupaten sanggau 20 orang: 9%, Kabupaten Sekadau 9 orang : 4%, Kota madiya Singkawang 8 orang :4%, Kabupaten Sintang 4,orang : 2%, Diluar Kal-Bar 52 orang : 22%. Data ini menunjukan cukup besar korban trafiking di kalimantan barat, Hal ini Karena Provinsi Kalimantan Barat adalah urutan ke-7 dari 33 propinsi di Indonesia penduduknya miskin. Sampai dengan saat ini (November 2006) Penduduk miskin di Kalimantan Barat masih cukup tinggi, dan cenderung meningkat. Dalam tahun 2006 penduduk miskin di Kalbar bertambah dari 285.454 kepala keluarga (KK) akhir tahun 2005 menjadi 362.448 KK dari total penduduk 4.033.234 jiwa (data Oktober 2006). Faktor penyebabnya, menurut Sekda Propinsi Kalimantan Barat Syakirman, karena terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor perusahaan industri kayu lapis. PHK ini akibat krisis bahan baku karena sudah habisnya sumber daya kayu. Jumlah korban PHK dari sektor industri kayu lapis sudah di atas 10.000 orang. Sedangkan TKI yang pulang dari Sarawak, lebih 3.000 orang sampai sekarang belum memiliki pekerjaan tetap. Para korban ini baik dari korban PHK maupun TKI ilegal dari Sarawak 90% berasal dari daerah pedalaman. Tahun 2002 penduduk miskin di Kalbar mencapai 15,46 %, tahun 2003 mencapai 14,79 %, tahun 2004 ada 13,91 %, tahun 2005 ada 44,97%, dan Februari 2006 menjadi 45%.
Kondisi ini disebabkan oleh ; Rendahnya pendidikan, kurangnya ketrampilan dan wawasan dalam pengelolaan hasil/pendapatan yang diperoleh untuk pengembangan ekonomi keluarga sebagai akibat keterbatasan perhatian pemerintah terhadap pendidikan dan penyadaran masyarakat khusunya di pedalaman, kedua karena rusaknya sumber daya alam yang selama ini merupakan sumber-sumber perekonomian masyarakat di Kalimantan Barat, akibat penebangan hutan yang tidak diperhitungkan dan perluasan perkebunan Kelapa sawit yang cenderung menghilangkan sumber-sumber pendapatan penduduk yang sudah menghidupi mereka sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun seperti karet, rotan, damar dan lain-lain. Kehadiran perkebunan sawit, yang menjadi andalan pemerintah di Kalimantan Barat juga telah berkontribusi merusak tatanan sumber daya alam atau keanekaragaman hayati, seperti penggundulan hutan, pengrusakan sumber-sumber daya air, pemusnahan satwa termasuk satwa langka seperti orang hutan, dan lain-lain. Kerusakan tatanan sumber daya air telah mengakibatan kesulitan air bersih dan mewabahnya penyakit di beberapa daerah. Perkebunan kelapa sawit juga telah menghilangkan hak-hak kepemilikan masyarakat atas tanah serta pemiskinan masyarakat secara struktural ,tanpa solusi yang jelas. Kebun plasma tidak mampu meringankan beban ekonomi para petani karena mereka dibebani kredit yang tidak kunjung lunas, sementara biaya pemeliharaan sawit sangat mahal dan usia produksinya terbatas. Sehingga masyarakat setempat hanya dimanfaatkan sebagai buruh kasar . Akibatnya banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya dan kaum muda yang putus sekolah terkatung-katung (menganggur), karena tidak mengerti harus berbuat apa. Kasus buta huruf dan putus sekolahpun terus berkepanjangan, karena beban biaya yang begitu tinggi. Ketiga dikarenakan infrastruktur yang belum memadai, sampai dengan saat ini Kalimantan Barat yang memiliki luas 146.708 km2, hanya tersedia jalan negara sepanjang 1.506 km (rusak 75 %), jalan propinsi 1.768 km dan jalan kabupaten/ kota 7.700 km (rusak 58 %). Akibatnya, masyarakat yang bermukim di kawasan terpencil dan hulu sungai sangat jarang disentuh program pembangunan khususnya pembangunan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Pendidikan yang disediakan hanya sampai dengan Sekolah Dasar, Puskesmas hanya ada di kota kecamatan.
Faktor lain adalah belum memadainya pemahaman masyarakat terhadap sebuah pekerjaan, seperti berkebun sayur, menoreh karet, menjual sayur dianggap bukan pekerjaan sehingga diabaikan dan mereka cenderung mencari pekerjaan ke tempat lain seperti menjadi pembantu rumah tangga dan lain-lain. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak ketiga, untuk mengeksploitasi kaum perempuan dan anak-anak untuk dijual (ditrafficking) sebagai tenaga kerja ke luar negeri (Malaysia-terbesar) dengan janji upah yang tinggi. Mereka yang diekspoliasi kebanyakan adalah kaum perempuan dan anak yang buta huruf dan putus sekolah yang berusia antara 12 s/d 35 tahun .
Tahun 2005 angka korban perdagangan perempuan dan anak-anak (trafficking) di Kalimantan Barat yang ditangani International Organiztion fo Migration (IOM) dari bulan Juli s/d Desember 2005 mencapai 202 orang, tahun 2006 meningkat menjadi ,460 orang dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan hasil konseling yang dilakukan oleh IOM terhadap para korban, disimpulkan bahwa ini semua akibat kebodohan dan kemiskinan dalam berbagai aspek, oleh sebab itu yang penting dilakukan adalah pencegahan terjadinya korban baru. Dengan melakukan kompayai anti trafiking dan kita tidak perlu mencari kerja keluar Negeri dalam negeri kita sendiri bisa berusaha sesuai dengan kemampuan kita dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, dan 10% dari hasilnya di tabungkan di CU mana korban tersebut berada.

AWAL KELAPA SAWIT DI INDONESIA & KALIMANTAN BARAT


Melihat keberadaan pohon sawit bagi kita sekarang adalah hal yang biasa. Padahal sebenarnya sawit bukanlah tanaman asli Indonesia. Tumbuhan ini didatangkan dari Negara Brazil, Amerika Selatan. Kehadiran kelapa sawit di Indonesia pertama kali sejak zaman Belanda. ketika Indonesia merdeka. Perkebunan kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq) diimpor Indonesia (Hindia Belanda) dari Mauritius atau Reunion, Afrika dan ditanam di Kebun Raya Bogor (Lubis:1992, Van Heurn 1984). Tapi sekarang lebih dipercaya bahwa sawit berasal dari Amerika Selatan karena benua itu sangat kaya akan jenis sawit. Pada tahun 1985 pusat penelitian kelapa sawit di Marihat, Pematang Siantar menghasilkan bibit dari kultur jaringan. Dari pengamatan lapangan sampai tahun 1993 diketahui bahwa tanaman dari kultur jaringan memberikan produksi 29% lebih tinggi dari tanaman asal biji (Ginting et al;1993). Kelapa sawit kemudian dikembangkan menjadi produk unggulan sector perkebunan.Apalagi permintaan pasar dunia untuk produk ini sangat tinggi. Kelapa sawit menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan dasar minyak goreng dan bahan campuran sabun mandi, mentega, bahan cat, dan lain-lain. Setelah banyak ditanam di Sumatera Utara, kelapa sawit kemudian merambah ke Kalimantan Barat. Masuknya sawit di Kalimantan Barat mulai dirintis oleh Gubernur Kadarusno (mantan Gubernur Kalimantan Barat) pada tahun 1970-an.
Rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit ini diawali dengan mengirim surat No. 01/A-1/X/13 tanggal 27 September 1974 dan surat No. 46/A-1/IV/13 tanggal 22
April 1975 kepada Departemen Pertanian C.q Direktur Jenderal Perkebunan. Dalam suratnya Gubernur Kadarusno mengusulkan supaya Direktur Jenderal Perkebunan Republik Indonesia mengadakan survey guna mengetahui kemungkina-kemungkinan pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.
Permohonan Kadarusno ditanggap positif oleh Badan Khusus Urusan Perusahaan Negara Perkebunan melalui surat No. 1686/A.4/Y/U/1975 tanggal 24 Juli 1975 dengan mengirim tim survey P.N.P Marihat Research Station Pematang Siantar. Pada tahun 1980 hasil survey tersebut ditindaklanjuti oleh Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) VII- sekarang PTPN XIII- dengan membuka perkebunan kelapa sawit seluas 14.000 ha di Kecamatan Ngabang.
Perkembangan sawit kemudian sangat pesat. Hamper seluruh pelosok Kalimantan Barat sudah ditumbuhi kelapa sawit. Pemerintah Daerah Kalimantan Barat bahkan dalam Perda No.1/ 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Barat, dengan jelas mencanangkan kelapa sawit sebagai salah satu sumber pendapatan daerah pengganti kayu yang hampir habis.
RTRWP Kalimantan Barat menyebutkan bahwa lahan lahan yang berpotensi untuk perkebunan (sawit dan HTI) seluas 5.257.700 ha. Lahan ini akan diserahkan kepada 164 perusahaan perkebunan. 2.500.000 ha (48% luas lahan yang potensial) dijadikan untuk lahan perkebunan sawit. Areal perkebunan kelapa sawit dan HTI di Kalimantan Barat terus bertambah. Berdasakan data dari Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Barat, sampai Desember 2000, ijin pemanfaatan lahan perkebunan di Kalimantan Barat sudah mencapai 3.560.251 ha (68% dari 5,2 juta lahan yang dicadangkan). Menurut Undang-undang Kehutanan No.41/1999 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut statusnya (sesuai Undang-undang Kehutanan) hutan hanya dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu:
1. Hutan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
2. Hutan hak atau hutan rakyat yaitu hutan yang dibebani hak atas tanah.
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik rakyat baik petani perorangan maupun bersama-sama. Hutan rakyat tersusun satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras nonkayu, satwa, buah-buahan, satuan usahatani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan cita-cita setiap negaqra atau regional, pertumbuhan ini menjadi salah satu indikator utama dalam melihat keberhasilan pembangunan. Di era otonomi Daerah, insentif pembiayaan pembangunan menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) yang tertuang dalam UU No.22/1999sebagai anggaran penyeimbang (disparitas antar daerah) seiring dengan dominasi pembiayaan APBD yang bersumber dari PAD. Pada saat sekarang proporsi DAU dan Dana Anggaran Khusus (DAK) melebihi 80% dari pembiayaan pembangunan di banyak daerah, kecuali beberapa kabupaten yang memiliki infrastruktur dan pembagian usaha hasil pertambangan yang memadai.
Besarnya proporsi PAD terhadap APBD menandakan adanya kontribusi yang positip terhadap dampak pembangunan. Keberhasilan pembangunan tidak hanya bisa dilihat dari besarnya PAD, jadi ukuran yang biasa dipakai tentu tidak bisa terlepas dari indikatoer yang ada dalam APBD. Contoh konkrit investasi perkebunan kelapa sawit baru dapat menghasilkan minimal 4 tahun, artinya hasil sekarang merupakan buah perencanaan pembangunan sebelumnya. Perencanaan yang tidak bijak akanmenimbulkan permasalahan kerugian yang jauh lebih besar dari keuntungan yang didapat, tidak tertutup kemungkinan keuntungan keuntungan saat sekarang harus dibayar dengan biaya (cost) pembangunan dalam jangka panjang.
Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit secara langsung telah merubah fungsi hutan sebagai penghasil kayu dan nonkayu. Hutan dan tutupannya berfungsi sebagai tangkapan air (watercachment area) dan penyedia keanekaragaman hayati di samping sebagai habitat satwa, hal ni tidak akan bisa digantikan oleh fungsi atau bentuk lainnya, seperti perkebunan kelapa sawit tersebut. Perkebunan kelapa sawit mungkin menguntungkan masyarakat dan secara pasti merugikan lingkungan. Bagi masyarakat pengkonversian lahan hutan berarti mengorbankan sumber daya ekonomi yang dimiliki secara turun temurun. Serta ada kecenderungan investasi perkebunan kelapa sawit sendiri akan menimbulkan biaya rehabilitasi lingkungan yang besar dalam jangka panjang. Secara nyata mengorbankan fungsi hutan akan menjadi biaya ekonomi pada masyarakat secara signifikan. Antusias pemerintah daerah dalam menarik investor dengan mencadangkan hutan untuk dikonversi perlu pengkajian yang lebih arif menyangkut benefit dan distribusi biaya yang akan ditanggung masyarakat dan pemerintah daerah sendiri.
Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat membutuhkan lahan pertanian luas dan kawasan hutan untuk menopang kehidupan, karena system pertanian yang dikelola telah menopang perekonomian secara nasioanal maupun regional. Tingginya peranan sector pertanian dalam memberikan arti bahwa perekonomian daerah masih dominan mengandalkan pertanian sebagai penopang pertumbuhan ekonomi, artinya sector ini mengalami penurunan akan menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.
Kesalahan dalam perencanaan akan menimbulkan persoalan bagi banyak sector. Apalagi kegiatan pembangunan dengan upaya memajukan salah satu sub-sektor berarti mengorbankan sector l;ainnya secara makro maupun mikro yang berdampak jangka panjang maupun jangka pendek dalam memicu pertumbuhan ekonomi, maka daerah memberikan peluang investasi yang luas dan kadang-kadang terkesan kurang perencanaan dan tak jarang menimbulkan biaya besar yang ditanggung oleh masyarakat banyak (pertumbuhan ekonomi semu). Secara nyata peranan pemerintah dalam membuka kesempatan untuk memanfaatkan wilayah dalam wilayah administratif untuk perkebunan kelapa sawit tentu mempunyai konsekwensi pengorbanan usaha lainnya seperti pertanian tradisional, sumber daya alam (tanah, air, dan hutan). Secara nyata akan terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan pengembangan perkebunan kelapa sawit berbanding terbalik dengan kerugian yang akan dialami oleh masyarakat serta mengorbankan kawasan hutan.

A. Praktek Pengembangan Perkebunan Sawit Di Kalimantan Bahan Presentasi Seminar Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kalimantan


Perkebunan Sawit di Kalimantan
Propinsi
Areal yang dicanangkan (ha)
Luas Kebun Sawit (ha)
Kalimantan Barat
1.500.000
349,101
Kalimantan Timur
2.000.000
303,040
Kalimantan Tengah
1.855.315
438.532
Kalimantan Selatan
500.000
391,671
Beberapa Group Perusahaan Perkebunan Sawit Swasta di Kalimantan
No
Perusahaan
Luas Area
1
Astra Group
99,438
2
Lyman Group
193,750
3
Bakrie
88,000
4
CDC Group
69,000
5
Kumpulan Guthrie
132,262
6
Lonsum
52,000
7
Radja Garuda Mas
142,000
8
Sinar Mas
103,400
Data Sawit Watch September 2004

Keuntungan yang di Harapkan Pemerintah dari Pengembangan Perkebunan Sawit :
1. Penggerak ekonomi di pedesaan dan membuka isolasi Remote Area
Lowongan kerja :
250.000 HA Kebun 50.000 T.K
Pendapatan pekerja :
50.000 T.K. Rp. 27,5 M/Bln
4. Belanja staff dan barang :
250.000 HA Kebun Rp. 125 M/Bln
5. Biaya kontraktor (250.000 HA Kebun) :
- angkut TBS Rp. 150 M/Thn
- angkut CPO Rp. 60 M/Thn
6. Retribusi CPO
(250.000 HA Kebun) Rp. 5,5 M/Thn
7. Pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan karyawan
pajak bumi dan bangunan, BPHTB
8. Berbagai jenis bisnis turunan lainnya
DASAR KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN a.l., :

UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
PP No. 06 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
PP No. 44 Tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman
PP No. 81 Tahun 2001 tentang Alat dan Mesin Budidaya Tanaman
Kpts. Menteri Pertanian No. 74/Kpts/TP.500/2/1998 tanggal 26 Pebruari 1998 tentang Jenis-Jenis Tanaman Perkebunan (145 Jenis)
Kpts. Menteri Pertanian No. 357/Kpts/HK350/5/2002 tanggal 23 Mei 2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
Kpts. Menteri Pertanian No. 392/Kpts/OT-210/6/2002 tanggal 21 Juni 2002 tentang Pedoman Umum Pengembangan KIMbun
Rencana Induk Pengembangan Perkebunan (Tahun 1984)
PerDa tentang Pengusahaan Perkebunan
PerDa tentang RTRW Provinsi
Kpts. Gub. tentang Pedoman Perizinan Pengelolaan Usaha Perkebunan
Kpts. gub ttg Julak Pengembangan KIMbun
Instr. Gub. No. 17 Tahun 2004 tentang Design Operasional Implementasi Pola Pengembangan dan Kemitraan Usaha Perkebunan


SIFAT – SIFAT USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

MURNI INVESTASI
Tanaman baru menghasilkan pada tahun ke 4, sehingga selama 5 tahun
Pertama tanpa penghasilan.

PADAT TENAGA
Penyerapan tenaga kerja 0,2 tenaga kerja/ Ha,ditambah dengan tenaga
kerja di PKS, Transportasi dan sektor informal lainnya.

PADAT MODAL
Investasi tanaman s/d menghasikan Rp 15 – Rp 20 juta diluar pembangunan PKS dan Bulking Station. Hanya layak pada lahan yang murah, karena itu sesuai sebagai proyek pioner di daerah terpencil. Pada umumnya membangun prasarana dan sarana sendiri karena berada di daerah terpencil. Unsur yang penting adalah:Komunikasi,Jjalan – jalan kebun, fasilitas perumahan karyawan / staff, kadang–kadang membangun pelabuhan/dermaga sendiri. Menggunakan sumber daya lokal dengan import contain kecil tetapi menghasilkan komoditi ekspor. Tanah, air,matahari,tenaga kerja, pupuk merupakan usaha yang beresiko cukup tinggi dan rentan terhadap suku bunga tinggi.

TABEL PERBANDINGAN INDUSTRI PULP & PAPER DAN PERKEBUNAN KEPALA SAWIT ( INDUSTRI CPO )
NO
FAKTOR PEMBANDING
PULP & PAPER
PERKEBUNAN
1.
Kebutuhan Lahan (Ha)
200,000
200,000
2.
Jumlah unit usaha
1 (satu)
12 (masing-masing 16.000 ha dengan tanaman 10.000 Ha nett per unit)
3.
Keberhasilan realisasi proyek
Tergantung satu perusahaan
Tersebar pada 12 perusahaan (kurang riskan)
4.
Resiko usaha
Terpusat pada satu perusahaan (riskan)
Tersebar pada 12 perusahaan (kurang riskan)
5.
Investasi
$800,000,000
$30,000,000/unit atau $360,000,000 untuk 12 unit
6.
Kapasitas produksi per tahun
300,000 ton pulp
50,000 ton CPO per unit atau 600,000 ton untuk 12 unit
7.
Harga Pasar ekspor (US$/ton)
500
400
8.
Devisa yang dihasilkan
$150,000,000
$240,000,000
9.
Komponen impor
Besar
Kecil
10.
Penyerapan tenaga kerja
± 8.000 orang
± 3.000 orang/unit atau ± 36.000 orang untukk 12 unit
11.
Dampak Pencemaran
Besar
kecil ( dapat diabaikan )
12.
Asas pemerataan
Tidak ada
Ada
Catatan : 1 Ha tanaman kelapa sawit menghasilkan minimalll 5 Ton CPO per Ha per tahun

Masalah dalam perkebunan
• Lingkungan
– Deforestasi
– Kebakaran hutan
– Pencemaran
– Resiko Pestida
• Sosial ekonomi
– Konflik Tanah
– Pelanggaran HAM (Penggunaan Kekerasan untuk Penyelesaian Konflik)
– Kemitraan Yang Tidak Adil
– Kualitas hidup buruh

Beberapa Faktor Penyebab Masalah
• Fokus pemerintah hanya pada peningkatan kwantitas Luas Lahan
• Lemah dan Tidak Adilnya Penegakan Hukum
• Mengingkari kebijakan tata ruang yang telah ada
• Praktek KKN yang cukup Kuat (terjadi Monopoli Lahan)
• Izin digunakan perusahaan sebagai motif untuk eksploitasi kayu
• Rendahnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat Adat/lokal ; Sebagian besar lahan2 perkebunan sarat Konflik Tanah , Kecenderungan meredam masalah/konflik daripada menyelesaikannya (penggunaan kelompok – kelompok tertentu yang berpotensi terjadinya tindak kekerasan untuk meredam konflik)
• Informasi dan data aktivitas perusahaan yang tidak transparan (HGU belum diberikan aktivitas pembangunan dilakukan, ijin untuk tanaman jenis lain dikembangan tanaman kelapa sawit, luas areal yang dikelola melebihi ijin )
• Kemitraan dengan petani yang tidak konsisten (rendahnya transfer of knowledge dan transfer of technology kepada petani mitra)
Rencana sawit di Kalimantan
B. Pengaruh Konversi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimntan Barat

Pengaruh Konversi Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut :
1. Dampak perkebunan sawit terhadap pembangunan daerah
Dukungan pemerintah terhadap investor dalam memberikan peluang investasi kelapa sawit terlihat sangat berlebihan tanpa dapat memberikan aturan yang jelas terhadap resiko yang akan diderita oleh masyarakat dan daerah. Bagi perusahaan dalam menjalankan usaha tentu akan sangat menguntunkan apabila skala ekonomi yang ditargetkan memenuhi analisis usaha. Kecenderungan peningkatan luas lahan dan pengembangan investasi pada level tertentu akan menjadi tujuan utama dengan meminimalakan biaya dalam pengurusan dan perawatan hasil investasi. Eksvansi perkebunan sawit pada skala tertentu akan tetap mengalami perkembangan sampai skala ekonomi menguntungkan untuk investasi (return to scale). Namun pola ini tentu perludiperhatikan dalam pengembangan ekonomi masyarakat secara luas serta pertumbuhan ekonomi daerah, pada tingkat pertambahan pendapatan (value added) yang selanjutnya akan digunakan untuk pembangunan daerah. Permasalanannya akan menjadi rumit apabila pengembangan (eksvansi) ini pengorbanan lahan dan kawasan ekonomi potensial masyarakat seperti ; lahan pertanian yang telah dikelola secara turun-temurun.
Pengembangan pada skala tertentu juga akan menimbulkan permasalahan yang lebih luas dalam biaya pembangunan dan pengorbanan ekonomi masyarakat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit jelas hanya melihat darisegi prospektif kepentingan peningkatan usaha pada level tertentu untuk memberikan keuntungan ekonomi pada tingkat dan bentuk pengelolaan dalam jangka panjang.semakin besar investasi akan semakin sulit untuk daerah dalam mengendalikan investasi tersebut, bisa jadi perekonomian suatu daerah akan menjadi bagian yang tidak terpisahakan oleh dampak investasi yang telah dikembangkan oleh investor. Peningkatan ini akan terlihat jelas dalam persepsi ketergantungan dan keuntungan ekonomi pada hitungan financial pengusaha bukan pada keuntungan pada tingkat masyarakat dan lingkungan.
Membesarkan investor dengan memeberikan kemudahan peizinan lunak serta memberikan konsesi dengan mudah, subsidi pajak, membangun fasilitas umum pendukung, sampai keringan bunga bank serta sederetan kemudahan lainnya. Harapan yang terkandunga di balik kemudahan yang diberikan adalah adanya pengaruh pengembangan usaha yang menguntungkan masyarakat dengan kata lain adanya rembesan ke bawah (trikle down efek) semakin besarnya keuntungan yang didapat dari investasi pada kenyataannya tidak terjadi seperti yang diharapkan, ternyata ekonomi masyarakat tidak mengalami perkembangan yang berarti. Masyarakat yang bekerja secara langsung tidak menikmati hasil lebih dari sebelumnya sebagai pengumpul hasil hutan, artinya pendapatan yang diterima selama ini dari sawit tidak lebih baik dari pendapatan sebelumnya.
2. Sawit mengahancurkan budaya Dayak
Tidak dapat dipungkiri bahwa kini kelapa sawit menjadi komoditi ekspor yang sangat menguntungkan. Sawit menurut hasil penelitian dari PORIM (Palm Oil Research Institute of Malaysia), dapat menghasilkan bahan cat, resin, krayon, lilin pengganti lemak coklat dan empat jenis lemak roti. Pengolahan minyak sawit lebih jauh lagi bisa menjadi bahan pelengkap untuk membuat sabun, deterjen, sampoo, margarine, bahan baku kosmetik, vitamin A, vitamin E dan minyak goring.
Namun di luar semua kegunaan produk yang dihasilkan dari kelapa sawit, kita tidak boleh menutup mata terhadap kerugian yang ditimbulkannya, khususnya bagi orang dayak. Kerugian ini tak terhingga nilainya. Nilai budaya dayak yang paling terancam dengan masuknya sawit adalah budaya perladangan.semua suku dayak yang ada di Kalimantan Barat memiliki tradisi berladang. Dalam tradisi berladang terdapat kekayaan ritual dan spiritual yang luar biasa. Orang Dayak melakukan penghormatan yang luar biasa terhadap keseimbangan alam. Saat mulai berladang, orang dayak memilih dengan teliti lokasi yang hendak dijadikan ladang. Pada kawasan hutan rimba adalah terlarang untuk berladang. Pembukaan ladang juga kaya dengan makna spiritual warisan nenek moyang. Ritual perladangan ini mencapai puncaknya dengan diadakannya pesta panen untuk mengucap syukur atas hasil panen yang baik (naik dango,gawai). Ketika orang Dayak menerima sawit maka dengan sendirinya, tidak akan ada lagi kegiatan pesta panen padi. Masuknya sawit dengan sendirinya menghapus ritual pesta panen padi. Nenek moyang orang Dayak sama sekali tidak pernah mengajarkan kepada anak cucunya mengadakan pesta panen sawit. Perlahan tapi pasti, hancurlah identitas orang Dayak. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun di dunia ini.
3. Sawit merugikan ekonomi Dayak
Masuknya perkebunan dengan sendirinya menggusur pohon-pohon karet, buah-buahan, tembawang dan hutan milik masyarakat. Kerugian ini tak terhitung nilainya. Tembawang buah-buahan adalah sumber ekonomi untuk dijual; saat musim panen tiba.hutan adalah tempat mengambil kayu baker, ramuan rumah dan lokasi berburu. Semuanya bisa didapat dengan gratis. Sementara jika sawit masuk maka tidak tersedia lagi kayu baker, ramuan rumah,pakis dan rebung serta binatang buruan.
Tidak mungkin menggunakan pelepah sawit untuk kayu baker. Yang terjadi adalah semuanya harus dibeli dengan uang. Tidak tersedia lagi sumber makanan dan protein yang gratis untuk masyarakat. Binatang buruan yang selama ini menjadi sumber protein tidak akan mau bertahan hidup di kebun sawit.
4. Sawit membuat Dayak kehilangan tanah
Pola apapun yang dipakai oleh perusahaan sawit entah itu PIR-BUN, PIR-SUS, KKPA semua adalaha sama. Ada pihak yang menjadi petani ada pihak yang menjadi pemilik modal yakni perusahaan. Orang yang ingin menjadi petani sawit harus menyerahkan sejumlah tanah untuk dipakai sebagai lokasi sawit. Tapi tanah ini tidak dianggap sebagai modal yang ditanam. Menurut aturan pemerintah, setiap orang yang hendak menjadi petani sawit harus menyerahkan 7 ha lahan untuk mendapatkan lahan seluas 3 ha. 2 ha tanaman perkebunan, 0,75 ha lahan pangan, dan 0,25 merupakan lahan perkarangan dan bangunan rumah seluas 5X6 meter. Belum jadi petani saja sudah rugi.
5. Sawit membuat orang menjadi penghutang
Saat menjadi petani, orang akan langsuing terikat hutang dengan pihak perusahaan dan bank. Pada tahun 1998, seorang petani sawit di Sekadau dengan sendirinya berhutang kepada perusahaan sebanyak Rp 11.438.000. hutang ini harus dibayar dengan memotong 30% dari hasil sawit petani yang dijual kepada perusahaan. Jadi sedikit demi sedikit, orang dayak kemudian menjadi penghutang dan dimiskinkan oleh perkebunan sawit.
6. Sawit merusak lingkungan
Penanaman sawit umumnya dilakukan secara besar-besaran. Ratusan ribu hektar lahan dibabat hanya untuk menanam sawit. Dengan sendirinya akan terjadi kerusakan ekosistem dan lingkungan alam. Menurut Dr.Gusti Zakaria Anshari, Dosen Ilmu Tanah Untan, terjadi perubahan besar terhadap lingkungan dengan masuknya sawit. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit unsur-unsur hara (kesuburan ) tanah akan sangat banyak hilang. Akan banyak dampak hilangnya unsur hara (kesuburan tanah). Menurut Dr. Gusti Zakaria Anshari dapat menyebakan terjadi pendangkalan sungai, kemandulan tanah dan musnahnya keanekaragaman hayati.


Rekomendasi Sawit Watch untuk Pemerintah Kalimantan Barat
Pertama, Menghentikan Model pembangunan perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini. Dengan cara :

(1) Menghentikan pemberian izin diatas tanah dan Hutan yang sudah dikelola Rakyat,
(2) Menghormati dan Melindungi serta menghargai hak ulayat/adat
(3) Tidak ada lagi pembakaran lahan
(4) Stop Izin Konversi Hutan
(5) Penegakan hukum secara Adil dan Menghargai hukum internasional yang berlaku,
(6) Mematuhi prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan, didahulukan dan diinformasikan (FPIC).

Kedua, pemerintah harus secepatnya menyelesaikan
konflik-konflik agraria yang terjadi di perkebunan
kelapa sawit yakni membentuk dua macam kelembagaan baru yakni :

(i) suatu badan nasional yang bertugas khusus untuk memfasilitasi proses-proses pendaftaran, kanalisasi dan penyelesaian sengketa atau konflik klaim antar para pihak yang terlibat melalui perundingan, mediasi atau arbitrasi, serta merekomendasikan perubahan kebijakan yang diperlukan; dan
membentuk badan pengadilan ad hoc, yang menerima dan melanjutkan kerja badan nasional khusus diatas dengan mengeluarkan putusan-putusan yang berkekuatan hukum agar para pihak yang bersengketa mematuhinya

AKIBAT PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERHADAP TANAH
Hutan Kalimantan Barat setiap hari mengalami deforestasi dengan laju kerusakan pertahun mencapai 2,1 juta ha dan diperkirakan akan habis pada tahun 2010. secara umum ekologi hutan merupakan suatu kesatuan yang saling terkait dalam kehidupan perekonomian suatu wilayah. Keradaan hutan sebagai sumber daya alam jelas tidak bisa digantikan dalam bentuk teknologi apapun jika ini dipercayai. Tingginya laju kerusakan hutan alam akibat eksploitasi dan konversi lahan hutan merupakan suatu dampak kurang menghargai sumber daya hutan itu sendiri. Hutan alam sebagai sebaai salah satu sumber daya, penting dipertahankan keberadaannya demi keberlanjutan pembangunan dan perekonomian. Hilangnya hutan berarti fungsi water cachment area dan sumber perekonomian masyarakat juga akan hilang. Ada beberapa cara menarik investor seperti memberikan kemudahan untuk mengeksploitasi, akan tetapi jika memberikan alokasi hutan yang masih utuh dikonversi untuk HGU perkebunan mungkin suatu hal yang harus dipertimbangkan.
Perkembangan investasi telah menyebabkan konflik horizontal, ketidakadilan ini lebih pada proses pengambilan alih sumber daya lahan masyarakat yang sangat merugikan. Di samping itu investor perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan perubahan yang drastis pada sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Saran Penulis
Dengan keberadaan hutan dewasa ini diharapkan agar investasi untuk perusahaan sawit dibatasi dan bahkan diurangi dari jumlah yang telah direncanakan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat. Degradasi hutan akan melumpuhkan kehidupan. Sumber air, udara dan sinar matahari (suhu) tersedia dalam bentuk yang tidak sehat. Masyarakat beserta pemerintah harus bisa menjaga keseimbangan lingkungan. Situasi aktual telah sering kita alami seperti iklim yang tidak menentu, sering terjadinya bencana alam dan lain sebagainya. Fenomena-fenomena alam tersebut melumpuhkan kegiatan manusia termasuk kegiantan ekonomi.